Number 27 - Nascar . Gemblonk: Aturan Main Perdagangan Islam

Ads 468x60px

Aturan Main Perdagangan Islam

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:
1. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)
Firman Allah SWT:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17): 35)
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)
Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu sendiri.
Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.
Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya Al Qur’an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al A’raaf(7): 85)
Firman Allah SWT:
“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)
Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak dii akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.
Sabda Rasulullah SAW:
”Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR. Thabrani)
“Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada -gada, bila mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
“Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila keduanya tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya tidak diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga.
Sabda Rasulullah SAW:
“Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)
“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
“Sesama Muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)
“Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi tidak menerangkannya.” (HR. Baihaqie)
“Sebaik-baik orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara membelinya, mudah cara membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR. Thabarani)
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali, barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah (yang artinya):
“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra.” (HR. Ahmad)
“Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh rejeki, dan orang yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah.” (HR. lbnu Majjah)
“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
“Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR. Ahmad)
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)
“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkah an”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)
Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual beli agar tidak merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain”. (HR. Bukhari)
Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia. (Sumber: Al ’Amal Fil Islam karya Izzuddin Khatib At Tamimi (terj.) Bisnis Islam, alih bahasa H. Azwier Butun, Penerbit PT Fikahati Aneska Jakarta)


FUNGSI UANG DALAM ISLAM

Firman Allah SWT:
“…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34)
Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham.
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.
Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.
Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”
Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syariah dan konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan mengalir keluar negeri.
Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.
Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.



0 komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar